Judul : POLITIK HUKUM PENINJAUAN KEMBALI DAN PERLINDUNGAN HAM-Studi Perbandingan Belanda
Penulis : Dr. Stefanus Roy Rening, SH., MH
Tebal Buku : 392 hlmn
ISBN : Dalam Proses Pengurusan
Harga Buku : Rp. 289.700
Penerbit : Ikan Paus (2023)
Deskripsi Buku:
Permasalahan mengenai terpidana sebagai subjek hukum dalam PK sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (1) KUHAP dalam pelaksanaannya seringkali menimbulkan multi-tafsir jika diperhadapkan dengan pasal 23 ayat (1) UU Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Multi-tafsir tersebut telah mendapatkan legitimasi-yuridisnya bahwa subjek PK adalah terpidana bukan Jaksa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor pasal 33/PUU-XIV/2016 tanggal 12 Mei 2016 (dalam kasus Djoko S. Tjandra). Putusan MK tersebut menilai, Pasal 263 ayat (1) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat, yaitu sepanjang dimaknai lain, selain yang secara eksplisit tersurat dalam norma a quo dan pasal ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Begitu juga dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 tanggal 6 Maret 2014 (dalam kasus Antasari Azhar) membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP dikarenakan pasal tersebut dinilai tidak memberikan jaminan kepastian hukum yang adil dan perlindungan HAM bagi terpidana. Pembentuk undang-undang dalam draft RUU ini tetap berpendirian bahwa PK harus dibatasi sebagaimana dengan pemberlakuan asas hukum litis finiri opertet, yakni, setiap perkara harus ada akhirnya. Padahal, PK boleh lebih dari satu kali. (Vide Putusan MK Nomor 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014). Bahwa sikap politik hukum pembentuk undang-undang belum berubah dari bunyi pasal 268 ayat (3), dimana permohonan PK hanya dapat diajukan satu kali saja. Salah satu alasan yang disampaikan pemerintah di balik masuknya kembali rumusan ini yaitu untuk menghindari terjadinya penumpukan perkara di pengadilan dan hanya untuk menunda-nunda eksekusi adalah tidak sepenuhnya benar. Politik Hukum Peninjauan Kembali.
Kesimpulan ini dapat dilihat dari hasil penelitian mengenai penanganan perkara pidana PK yang penulis lakukan di 5 Pengadilan Negeri di Jakarta pada 2018. Terpidana yang mengajukan Permohonan PK selama 5 tahun terakhir dari tahun 2013 s/d tahun 2017 di wilayah hukum PT. DKI Jakarta sebanyak 43.968 perkara pidana. Dari total jumlah perkara pidana ini yang mengajukan permintaan PK sebanyak 306 perkara PK dengan angka presentasenya tidak sampai 1 persen, tepatnya sebesar 0,0069 persen dari total keseluruhan perkara pidana. Artinya, data ini menggambarkan bahwa tidak ada hubungan dengan penumpukan perkara dan penundaan eksekusi yang berkenaan dengan pengajuan PK lebih dari satu kali.
Adapun permasalahan yang menjadi objek penelitian dan kajian adalah pertama, bagaimanakah politik hukum yang mengatur mengenai ketentuan upaya hukum PK di Indonesia dihubungkan dengan perlindungan terhadap HAM? dan kedua, bagaimanakah seharusnya konsep pembaharuan politik hukum PK dalam memberikan perlindungan HAM bagi terpidana demi terwujudnya kepastian hukum yang berkeadilan di Indonesia?
Tujuan penelitian dan kajian ini dimaksudkan untuk mengetahui dan memahami serta menganalisis perkembangan politik hukum PK dan menemukan konsep pembaharuan hukum PK di Indonesia. Objek penelitian dan kajian ini menggunakan metode penelitian hukum juridis normatif yang menitikberatkan pada data sekunder, kemudian digunakan metode perbandingan hukum dan metode sejarah hukum yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan. Adapun spesifikasi penelitian yang digunakan adalah deskriptif analitis dan selanjutnya data yang dikumpulkan dianalisis secara kualitatif yuridis. Studi Perbandingan PK Belanda.
Hasil akhir penelitian ini, di masa depan dalam pembahasan RUU KUHAP, diharapkan pembentuk UU dalam hal Pemerintah dan dan DPR perlu melakukan harmonisasi dan singkronisasi UU yang mengatur tentang PK baik yang bersifat prosedural maupun substansial (KUHAP, UU Kekuasan Kehakiman dan UU Mahkamah Agung) sehingga dapat terwujud kepastian hukum yang berkeadilan dan memberikan perlindungan HAM bagi terpidana. Untuk mewujudkan hal tersebut, secara substansil, sebagai studi perbandingan dengan perkembangan PK di negeri Belanda saat ini dapat juga dipertimbangkan menjadi salah satu model melakukan pembaharuan pengaturan PK di Indonesia dimana pendapat atau kesaksian ahli dapat dikualifikasi sebagai Novum sebagai syarat material PK. Ahli yang akan memberikan keterangan sebaiknya memiliki sertifikasi mengenai keahliaannya guna membantu hakim ditingkat PK mengungkap kebenaran material baik mengenai substansial perbuatan pidananya maupun pelaku tindak pidananya.
Hal yang baru dalam buku ini, adanya studi perbandingan dengan perkembangan peninjauan kembali di negeri Belanda. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan hukum yang menjadi pro-kontra di masyarakat untuk membantu masyarakat mendapatkan keadilan. Perkembangan dan pembaharuan hukum PK di Belanda dengan cara mendirikan sebuah Lembaga yang bernama CEAS (Commisie Evaluatie Afgesloten Strafzaken). Lembaga ini bertujuan membantu Mahkamah Agung dalam menyelesaikan permasalahan hukum di bidang PK sebagai upaya hukum luar biasa yang telah menimbulkan pro dan kontra di masyarakat yang bersifat khusus, berskala besar dan memiliki tingkat pembuktian yang cukup rumit. Selain itu, pendapat ahli di negeri Belanda sudah dapat dijadikan sebagai Novum untuk membantu hakim mengungkapkan kebenaran materil berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga politik hukum PK di Indonesia dapat menyesuaikan dengan perkembangan hukum di luar negeri, seperti di negeri Belanda dan memperhatikan perkembangan IPTEK demi menegakkan hukum dan keadilan bagi kepentingan masyarakat pencari keadilan